Open Source Versus Proprietary

Blakangan ini lagi marak pemberitaan di media masa tentang open source versus proprietary. Hal ini dipicu oleh adanya MOU antara pemerintah Indonesia dengan Microsoft guna pengadaan perangkat lunak Microsoft bagi semua instansi pemerintah. MOU ini konon katanya dilandasi pemikiran untuk mengurangi pembajakan piranti lunak yang terjadi di Indonesia. Namun adanya MOU tersebut justru memicu komunitas open source untuk mempertanyakannya. Kenapa pemerintah harus melakukan pengadaan software proprietary ? Bagaimana dengan program yang sudah dicanangkan pemerintah melalui IGOS (Indonesia Goes to Open Source) ? Kalaupun toh harus melakukan pengadaan software proprietary, kenapa tidak dilakukan tender terbuka ? Mengapa terkesan penunjukan langsung terhadap Microsoft ?
Sebenarnya apa sih yang melatarbelakangi adanya pro dan kontra tersebut ? Apakah murni semata-mata karena masalah ekonomi ? Atau karena latar belakang yang lain ? Tulisan ini tidak bermaksud untuk memperpanjang polemik seputar Open Source Versus Proprietary, namun lebih menitikberatkan pada mana yang lebih baik apakah proprietary ataukah open source.
Komunitas open source bermula saat Linus Trovalds membuat Linux pada clone Unix pada tahun 1991. Hal ini didasari pada ketidakpuasan Linus untuk menjalankan Unix pada PC intel Processor 386 miliknya. Akhirnya dia memutuskan untuk menulis ulang Unix pada PC intel Processor 386. Yang membuat revolusioner adalah semua code programnya dibuat free ware, dimana semua orang boleh melihat dan mendistribusikannya tanpa biaya alias gratis. Dari sinilah awal mula komunitas open source mulai berkembang. Bahkan dewasa ini open source sudah menjadi saingan terberat perangkat lunak proprietary yang harus membayar.
Masalahnya, mana yang lebih baik open source atau proprietary. Masing - masing kubu pasti akan bersitegang untuk membela pendapatnya. Kubu yang pro proprietary akan mengatakan, software proprietary mudah digunakan, after salesnya bagus, upgrade yang lebih murah di masa depannya serta harapan tidak ada lagi pembajakan atas software buatannya. Namun kubu yang pro open source juga akan mengatakan, kenapa harus bayar jika bisa gratis. Apa kita akan selamanya tergantung pada vendor tertentu ? Berapa banyak akhirnya yang harus kita bayarkan kepada vendor jika kita harus memakai software mulai dari sistem operasi, office dan lain-lain. Sudah bukan rahasia umum lagi bahwa para vendor sengaja menciptakan ketergantungan kepada penggunanya dengan tujuan agar mau membeli lagi dan membeli lagi. Argumen paling sakti yang diajukan oleh kubu yang pro open source biasanya adalah tidak inginkah kita memiliki software yang buatan anak bangsa sendiri ? Jawabannya lebih kepada kesiapan sumber daya manusia yang ada. Bila SDM mendukung, rasanya open source bisa jadi pilihan. Namun bila SDM kurang mendukung proprietary bisa jadi pilihan. Namun adanya rumor yang menyatakan bahwa Microsoft akan mendirikan riset center mereka di Indonesia, rasanya bisa jadi harapan bahwa software proprietary akan jadi lebih murah di masa yang akan datang. Namun mungkinkah itu terjadi ? Waktu yang akan membuktikannya.
0 Responses