Single Identity Number (SIN)

SIN (Single Identity Number) belakangan ini kian dirasakan kebutuhannya untuk diterapkan di Indonesia. Masalahnya kita terlalu banyak memiliki identitas. Saat di jalan, kita memerlukan SIM untuk bisa mengemudikan kendaraan. Saat kita mengurus keperluan apapun sebagai warga negara, kita memerlukan KTP. Saat mencari pekerjaan kita memerlukan SKKB (Surat Keterangan Kelakukan Baik). Demikian juga saat mendirikan usaha kita membutuhkan NPWP.
Bahkan menurut Ditjen Pajak - Departemen Keuangan - saat ini setidaknya setiap individu memiliki 32 data yang masing-masing punya nomor sendiri. Sedemikian banyaknya identitas yang kita butuhkan untuk bisa hidup di negara kita tercinta ini. Atas dasar itulah kemudian muncul wacana untuk membuat satu identitas tunggal bagi segenap warga negara RI. Persoalannya siapa yang memiliki kewenangan untuk mengeluarkan SIN tersebut ?

Ketika pertanyaan tersebut dilontarkan, semua instansi atau departemen seolah berlomba untuk mengatakan merekalah yang tepat buat mengeluarkan SIN tersebut. Sebagai contoh Dirjen Pajak merasa merekalah yang tepat untuk mengeluarkan SIN tsb, karena mereka concern untuk mendata seluruh wajib pajak yang ada. Demikian juga kepolisian, depdagri dll.

Saya pribadi merasa bahwa masalah SIN sebenarnya bukan masalah teknologi, tetapi lebih merupakan masalah kebijakan. Kalau pemerintah serius menggarap masalah tersebut, sebenarnya tinggal tunjuk satu lembaga tertentu untuk merumuskannya dengan tentunya berkoordinasi dengan pihak terkait. Selanjutnya sosialisasikan ke masyarakat, dan kemudian diterapkan. Namun ada satu masalah yang mendasar yang sebelumnya harus diselesaikan terlebih dahulu yaitu perspektif perlunya SIN.

Bila kita melihat ke beberapa negara di eropa atau amerika, penerapan SIN lebih didorongkan untuk kepentingan sosial. Oleh karena itulah mereka mengeluarkan SSN (Social Security Number). Karena tujuannya adalah untuk kepentingan sosial, maka masyarakat merekapun kemudian berbondong-bondong untuk mendapatkannya. Namun beda halnya di Indonesia. Filosofi pentingnya SIN ternyata lebih didasarkan pada kebutuhan untuk mendata dana yang kira-kira bisa ditarik dari masyarakat. Lihatlah pada konsep NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak), SIM dan sebagainya yang kesemuanya berujung pada duit. Akibatnya belum apa-apa masyarakat sudah curiga jangan-jangan SIN ini nanti akan dipakai untuk melihat kekayaan mereka atau untuk memungut uang dari mereka. Karena stereotype yang ada sudah terbentuk seperti itu, tidak heran jika dukungan masyarakatpun nyaris tidak bergema. Rasanya perlu perbaikan filosofis akan tujuan SIN jika memang pemerintah memang berniat untuk menerapkannya.
0 Responses