DCA ? Kelaut saja deh...

Heboh perjanjian DCA (Defense Cooperation Agreement) antara pemerintah RI dengan Singapora akhir-akhir ini benar-benar ikut menarik perhatian saya juga. Namun bukan aspek politik, pertahanan atau ekonominya tapi dari aspek humanismenya.

Apa sih yang sebenarnya mendorong pemerintah Singapura sampai mengeluarkan statement kalau Indonesia mau mengubah DCA, masih bisa asal bukan hal yang materiil. Bila berniat mengubah hal yang bersifat materiil mending batalin saja sekalian.

Melihat statement seperti itu saya jadi teringat pengalaman seminggu di negeri tersebut. Negeri yang luasnya sama dengan Jakarta itu memang menyimpan sejuta pesona buat warga RI. Bagaimana tidak ? Wong saat saya ke sana dengan temen - temen kampus dengan tekat sebagai back packer ternyata tanggapan yang saya terima dari semua warga sana, saya dan temen-temen dianggap orang kaya. Jadi image yang beredar di Singapura semua WNI yang datang ke sana adalah orang kaya. Makanya saat saya katakan bahwa saya berniat jalan kaki dari hotel ke orchard road, mereka terheran-heran. Kok aneh ya ? Atau bisa jadi sama kali ya saat kita melihat bule kere datang ke Indonesia dengan tampang lusuh serta tas ransel di punggung.

Namun justru dari jalan-jalan tengah malam melintasi orchard road sampai dengan hotel tempat menginap yang notabene sekitar 1 km itu banyak hal yang bisa saya dapatkan. Hal pertama yang paling mencolok adalah banyaknya orang lari (di malam hari) tanpa ada rasa takut sedikitpun. Bayangkan jika hal yang sama dilakukan di Jakarta, apalagi dilakukan oleh perempuan. Hal kedua yang menyolok perhatian lagi bagi saya adalah mulai aktifnya mesin penyedot debu jalan saat waktu mulai menunjukkan pukul 10 malam waktu setempat. Ini sekaligus menjawab pertanyaan saya di kala siang, kok jalanan di sana tidak berdebu ya ? Bahkan pada bidang jalan yang saat itu sedang dilakukan pembangunan-pun juga tidak berdebu. Bandingkan dengan Jakarta kalau pas ada galian kabel atau pembangunan under pass, pasti yang namanya kendaraan harus rajin mencucinya tiap hari. Dan masih banyak lagi hal-hal yang di Jakarta bisa dibilang nggak ada, di sana ada ! Pada setiap supir taksi yang kami tumpangi selalu kami tanyakan, kenapa sih orang kok betah di Singapura ? Mereka selalu menjawab, justru karena kami nggak punya apa-apa, maka satu-satunya cara agar orang betah ya harus di beri servis yang terbaik.

Dengan melihat beberapa kondisi tersebut, wajarlah bila orang-orang Indonesia banyak yang doyan berlama-lama di sana. Apalagi bila uang hasil korupsi yang didapat di Indonesia bisa di parkir disana. Alangkah nikmatnya, bisa bebas dari kejaran hukum di Indonesia, sekaligus bisa menikmati hidup dengan tenang di sana ! Apalagi yang harus dicari ?

Disisi lain, bagi Singapura yang mengandalkan servis untuk mendapatkan devisa khususnya dari orang Indonesia, mana mungkin mau mengembalikan harta hasil korupsi para koruptor Indonesia ? Kalau itu dilakukan sama saja dengan membuang kembali duit yang sudah masuk dalam pundi-pundi mereka. Bahkan kalau perlu buat promosi besar-besaran di iklan koran Jakarta agar WNI rame-rame menaruh uangnya ke sono. Apa sih yang belum diiklankan oleh Singapura di harian koran Jakarta. Kondominium dengan view ke laut hasil urukan dari pasir Indonesia, plus dikerjakan pula oleh para TKI juga sudah diiklankan secara besar-besaran di koran Jakarta. Bahkan para supir taksi dimanapun diwilayah Singapura juga tahu bahwa banyak kawasan di sana yang bisa terwujud akibat jasa orang Indonesia dan kemudian dijual kepada orang Indonesia pula. Apa memang sedemikian bodohnya orang Indonesia ini sehingga bisa dikibulin abis sama mereka ? Atau bahkan sebaliknya kita sedemikian pinternya, sehingga kalau perlu beberapa pulau kita tenggelamkan untuk memperluas daratan singapura ? Kalau memang demikian kenyataannya rasanya tidaklah berlebihan bila dikatakan DCA ? Kelaut aja deh....!
0 Responses