Telemedicine

Belakangan ini bisa dikatakan semua bidang ilmu mulai mendekati teknologi informasi. Bahkan bisa dikatakan semua bidang ilmu mulai memanfaatkan teknologi informasi untuk kebutuhan mereka. Tak terkecuali kedokteran. Bio informatika, telemedicine adalah bidang-bidang yang mengawinkan dua disiplin ilmu tersebut. Tulisan ini lebih menitikberatkan pembahasan mengenai telemedicine.

Telemedicine adalah sistem yang menggabungkan vendor obat, dokter dan pasien dalam sebuah simbiosis yang saling menguntungkan. Pasien bisa konsultasi langsung dengan para dokter secara virtual mengenai penyakit yang dideritanya tanpa harus bertatap muka langsung. Demikian juga dokter bisa meresepkan obat tanpa harus bertemu langsung dengan pasiennya. Semua dilakukan secara maya. Bahkan bila diperlukan webcam-pun bisa dimanfaatkan oleh semua pihak untuk memperjelas suatu penyakit secara visual. Bahkan tak jarang, pasien bisa langsung memesan obat langsung ke vendor obat tanpa harus menggunakan resep dokter terlebih dahulu.

Persoalannya, kalau memang sedemikian vitalnya peran telemedicine, kenapa bisa dikatakan di Indonesia kok belum jalan juga ? Apa memang kita tidak ingin mengimplementasikan telemedicine ? Sedemikian besarnyakah biaya implementasinya sehingga tidak menarik para vendor obat, dokter dan pasien untuk mewujudkannya ? Untuk menjawab hal tersebut, rasanya kita harus mengkaji dari aspek teknis serta aspek hukum yang melandasi telemedicine ini.

Secara teknis, untuk mewujudkan telemedicine butuh sebuah datawarehouse yang menyimpan informasi berbagai obat dari berbagai pabrik farmasi lengkap dengan kegunaan dan khasiatnya. Selanjutnya kita juga butuh datawarehouse semua jenis penyakit lengkap dengan gejala dan cara pengobatannya. Itu baru kebutuhan awal. Selanjutnya kita perlu sebuah datamining yang bisa me-mining data historis riwayat penyakit para pasien untuk bisa mendeteksi sejarah perlakuan, obat dan aspek - aspek lain yang relefan dengan pengobatan penyakitnya. Dengan demikian sistem bisa mengestimasi berapa dosis obat yang tepat bagi seorang pasien dengan penyakit tertentu setelah perlakuan tertentu. Selanjutnya setelah ketahuan jenis obat dan dosisnya, sistem akan bisa menampilkan jenis-jenis obat serta merek dagangnya yang saat ini beredar bebas di pasaran, atau bisa juga sistem langsung memesan secara otomatis obat yang dibutuhkan oleh si pasien kepada vendor obat yang ada di datawarehouse. Bisa juga atas dasar sejarah diagnosis yang diberikan oleh dokter pada beberapa waktu yang lalu, sistem otomatis bisa merekomendasikan pengobatan dan terapi yang tepat bagi seorang pasien tanpa harus konsultasi lagi dengan dokter secara langsung.

Masalahnya, jika semua hal tersebut bisa berjalan, berapa banyak MSR (Medical Sales Representative) yang harus pensiun dini ? Berapa banyak dokter yang tidak lagi bisa buka praktek jika sistem ini sukses ? Hal yang tidak kalah pentingnya adalah siapa yang harus bertanggungjawab jika ternyata pasien gagal/ meninggal saat melakukan pengobatan sendiri atas rekomendasi sistem ini ? Itulah beberapa pertanyaan besar yang hingga saat ini belum bisa dijawab sehingga telemedicine masih susah untuk diaplikasikan di Indonesia.
0 Responses