Cetak Biru Sistem Informasi

Perkembangan bisnis suatu usaha senantiasa mengalami evolusi. Dari mulai pertama kali berdiri dengan segala keterbatasan fasilitas dan investasi, berkembang menjadi perusahaan menengah karena keuntungan bertambah. Bahkan tak jarang juga perusahaan berubah menjadi perusahaan besar setelah mengalami perkembangan yang cukup pesat.
Demikian juga halnya dengan sistem informasi perusahaan. Sistem informasi perusahaan, yang merupakan kumpulan dari berbagai jenis modul aplikasi, dibangun sejalan dengan perkembangan perusahaan. Permasalahannya, karena modul-modul tersebut dibangun oleh berbagai macam vendor yang berlainan, termasuk SDM internal perusahaan, tanpa adanya suatu perencanaan atau panduan blue print (cetak biru) yang jelas, maka pengembangan aplikasi secara ‘tambal sulam’ menyebabkan terjadinya penurunan pada kualitas sistem informasi secara signifikan.
Sistem tambal sulam yang tidak terencana dan terkelola dengan baik, akan mendatangkan kerugian bagi perusahaan. Dampak yang sangat berbahaya adalah jika terjadi penurunan kepercayaan (reliability) dari sistem informasi. Jika informasi yang dihasilkan dari pengolahan data yang ada tidak dapat dipercaya, berarti sistem yang bersangkutan tidak dapat dipergunakan dalam perusahaan, karena dapat membahayakan proses pengambilan keputusan strategis bagi manajemen. Persoalan kontrol terhadap data yang disimpan juga menimbulkan permasalahan lain, karena data yang ada disimpan di beberapa tempat yang berbeda. Belum lagi hal-hal lain yang berkaitan dengan data seperti konsistensi, tingkat up to date, dan sebagainya. Biaya lain yang tidak sedikit adalah biaya pemeliharaan berbagai macam infrastruktur perangkat keras, perangkat lunak, dan brainware dari sistem yang beragam.
Terjadinya perancangan aplikasi tambal sulam dapat dilihat dari berbagi segi. Aspek pertama adalah adanya urgensi kebutuhan suatu modul dari pihak manajemen. Keterbatasan waktu yang sangat singkat membuat para pembuat sistem hanya memperhatikan dampak jangka pendek, dalam arti, yang penting kebutuhan mendesak dari manajemen dapat segera terpenuhi. Aspek kedua adalah karena keterbatasan pengetahuan dan kemampuan pembuat sistem, apakah SDM dari dalam perusahaan maupun vendor atau konsultan dari luar. Aspek lainnya adalah karena ketidakinginan pihak manajemen untuk memberikan investasi yang cukup untuk membuat sistem yang baik. Istilah kasarnya, dilakukan perancangan ‘akal-akalan’ terhadap sistem yang dimiliki sekarang, walaupun dalam kenyataannya sudah tidak memadai lagi bagi perusahaan.
Sebagaimana halnya dalam pembangunan sebuah rumah, semenjak awal harus diketahui dulu apakah rumah tersebut akan dibuat bertingkat dua atau lima. Jika sejak awal sudah ditentukan bahwa rumah tersebut akan dibuat bertingkat lima, maka fondasi dan arsitektur yang dirancang harus memperhatikan kemungkinan tersebut. Demikian pula halnya dengan arsitektur teknologi informasi. Jika telah diketahui sifat perusahaan akan berkembang, dengan kemungkinan perubahan pada struktur organisasi, SOP (standard operating procedure), kultur budaya, peraturan pemerintah serta perubahan pada teknologi informasi, maka harus dibuat suatu perencanaan strategi perancangan aplikasi-aplikasi terkait, baik yang diperlukan untuk jangka pendek, menengah dan jangka panjang. Disinilah perlunya pembuatan blue print (cetak biru) perencanaan sistem informasi.