MUNGKINKAH IT MENGGANTIKAN KERTAS BUAT PEMILU DI INDONESIA?

Heboh DPT (Daftar Pemilih Tetap) pada pemilu 9 April 2009 lalu masih menyisakan pertayaan besar. Mungkinkah DPS (Daftar Pemilih Sementara) Pilpres Juli nanti akan lebih baik ? Siapa sebenarnya biang kerok di balik kacaunya DPT tsb ? Mungkinkah IT menggantikan fungsi kertas pada pemilu mendatang ? Dan berbagai pertanyaan lain yang terkait dengan hal tsb rasanya selalu menyertai kegitan pemilu ke pemilu.

Masih segar dalam ingatan kita kejadian pemilu 2004 lalu, dimana KPU menjamin keamanan data hingga 7 lapis, namun faktanya hanya dengan teknik sederhana SQL injection, situs KPU berhasil dibobol dengan mengubah nama-nama partai dengan nama buah-buahan.
Demikian juga dengan pemilu 2009, investasi yang sedemikian besar di bidang IT ternyata tidak sanggup membantu dalam proses penghitungan suara. Apakah memang IT tidak bisa membantu dalam proses penghitungan suara pada pemilu ? Atau kalau mau lebih konfrontatif lagi, mungkinkah IT menggantikan sistem pemilu yang masih berbasis kertas sehingga bisa lebih cepat dan lebih murah?

Secara teknis, sistem pemilu yang menggunakan kertas yang berbiaya mahal seperti sekarang ini bisa digantikan dengan teknologi informasi yang relatif jauh lebih murah dan lebih cepat. Ambil contoh pemilu di Amerika beberapa waktu yang lalu jelas sudah memanfaatkan IT sehingga proses perhitungan suara bisa dilakukan lebih cepat, murah dan tepat. Lalu mengapa hal tsb tidak berlaku di Indonesia ? Bukankah IT mestinya bisa bersifat universal ?

Untuk menjawab hal tsb, ada bagusnya kita cermati ulang beberapa kebijakan yang sudah digulirkan pemerintah namun tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya. Ambil contoh SIN (Single Identity Number) yang sangat penting bagi data kependudukan di Indonesia. Kalau mau dicermati, berapa ID sebenarnya yang dimiliki oleh warga negara Indonesia. Dalam hitungan saya mungkin lebih dari 20 kartu identitas yang harus dimiliki. Sebutlah KTP, SIM, NPWP, kartu ATM dan banyak identitas lain yang tanpa kita sadari ada di dompet kita. Padahal kalau sekiranya kita bisa punya satu identitas saja, maka banyak persoalan akan bisa dibereskan. Persoalannya hambatan birokratis antar instansi ternyata lebih mendominasi semua hal tsb dibanding masalah teknis.

Hal lain yang tak kalah penting adalah pengakuan/ sertifikasi atas aplikasi yang nantinya menjadi pilar bagi SIN tsb. Seperti kita ketahui, masalah siapa yang lebih berwenang untuk memberikan cap 'sah atau resmi' selalu menjadi batu sandungan di republik kita tercinta ini. Tak jarang ketika suatu lembaga sudah memberikan stempel sah, tak lama kemudian ada lembaga lain yang menganulir atau mengeluarkan stempel sah yang lain.

Walhasil, disamping masalah teknis yang perlu ada kesepakatan bersama diantara semua elemen bangsa ini, ada masalah lain yang lebih krusial yaitu hambatan birokrasi antar instansi serta kesepakatan atas tolok ukur yang akan dipakai dalam mengukur sesuatu. Walhasil jika hal tsb bisa diselesaikan, banyak persoalan di negeri ini akan bisa diselesaikan dengan baik. Sebagai contoh, seandainya SIN bisa terwujud, masalah DPT, pemilu, pajak dll akan bisa dengan gampang diselesaikan. Masalahnya mungkinkah para elit politik/ partai dan elemen2 penting bangsa ini mau menurunkan sedikit saja 'ego'-nya demi bangsa dan negara ? Waktu juga yang akan membuktikan