Perguruan Tinggi TI : Masih Perlukah Keberadaannya ?

Judul artikel di atas kesannya sangat profokatif sekali. Betapa tidak ? Limabelas tahun lebih berkecimpung di bidang TI, saya mengalami interaksi yang intens dengan barbagai macam latar belakang orang TI. Ada yang dari kalangan Perguruan Tinggi khusus TI, ada juga yang sama sekali tidak punya background akademik TI, namun autodidak dibidang TI. Pengalaman interview berbagai kalangan tersebut selalu berujung pada pertanyaan, mana yang lebih baik (dalam artian yang siap kerja) antara alumni perguruan tinggi (PT) TI atau mereka yang autodidak di bidang TI. Tulisan ini tidak bermaksud mendikotomikan kedua hal tsb, namun lebih menyoroti lebih dalam kondisi faktual diantara keduanya.

Tidak dapat dipungkiri, dunia TI adalah dunia yang sangat dinamis. Apa yang kita ketahui tentang suatu teknologi dalam hitungan bulan sudah akan kedaluarsa. Disisi lain, pendidikan tinggi TI dirancang untuk menghasilkan sarjana/ ahli madya yang diharapkan bisa mengisi kekosongan tenaga level menengah di bidang TI. Namun fakta menunjukkan bahwa banyak alumni PT TI justru gagap di bidang teknologi yang diaplikasikan di dunia kerja. Walhasil seringkali kompetitor PT TI justru adalah lembaga kursus yang menawarkan kursus aplikasi yang dipakai dunia kerja, atau mereka yang autodidak TI.

Inilah dilema bagi para pengelola PT TI. Ketika mahasiswa akan dibekali ilmu-ilmu praktis yang biasa dipakai didunia TI, akreditasi PT tsb akan dinilai rendah, karena tidak beda dengan kursus. Tapi kalau tidak ada pembekalan tambahan alumninya akan susah bersaing di dunia kerja. Walhasil sekarang ini banyak PT TI yang akhirnya harus berakrobat dalam mendisain kurikulum agar kedua hal tsb bisa terakomodir. Ada yang berhasil namun tak jarang juga yang akhirnya tidak jelas fokusnya kemana. Namun satu hal yang pasti, kalau orientasi akhirnya adalah menyiapkan tenaga TI yang siap kerja, rasanya PT TI akan kehilangan fokus yang nantinya justru tidak berbeda dengan lembaga kursus. Kalau memang demikian, buat apa mahasiswa membayar lebih mahal kalau ilmunya tidak bisa diterapkan. Ambil contoh, lembaga kursus tidak pernah mengajari Bahasa Indonesia atau mata kuliah umum lainnya. Namun kalau PT TI ada kewajiban untuk mengajarkannya.

Disinilah tantangannya bagi PT TI dalam mengembangkan kurikulum. Fakta di lapangan, mereka yang otodidak di bidang TI atau yang keluaran kursus rata-rata akan siap kerja jika apa yang mereka pelajari sesuai dengan apa yang dibutuhkan didunia kerja. Namun ketika harus melakukan analisis lebih jauh dalam rangka memberikan solusi, mereka yang otodidak atau keluaran kursus akan butuh waktu lebih lama buat penyesuaian. Hal ini disebabkan pondasi mereka yang tidak mapan. Namun ada juga kelemahan mendasar yang masih banyak dijumpai di berbagai PT IT dimana pemahaman atas proses bisnis yang masih sangat dangkal. Rata-rata kurikulum PT IT lebih berorientasi ke teknologi. Walhasil saat mahasiswa lulus banyak dari mereka yang gelapan di dunia kerja akibat apa yang mereka pelajari sudah kedaluarsa teknologinya. Disinilah peran pejabat PT IT dalam mendisain kurikulum yang bisa mengakomodir hal-hal yang sudah disebutkan di atas. Tidak gampang memang, namun bukan berarti tidak bisa.