Full Day School Manusiawikah Buat Anak Kita ?

Sudah lama sebenarnya saya ingin menuliskan artikel dengan tema seperti tersebut di atas, namun baru bisa sekarang. Saya ingat bagaimana dulu saat saya akan menyekolahkan anak perempuan pertama saya ke SD. Berbagai macam sekolah saya datangi hanya untuk memastikan apakah memang sekolah tsb cocok untuk anak saya. Namun akhirnya mencuat 2 macam kategori sekolah yaitu full day school atau bukan full day school.

Kekhawatiran saya sebenarnya sederhana. Mengingat pergaulan remaja yang ada sekarang yang sudah semakin bebas, masihkah ada sekolah yang bisa memberikan bekal yang memadai dalam rangka pembentukan kepribadian sehingga tidak akan terseret dalam arus pergaulan yang kian bebas. Pernah terbersit kondisi ideal seperti yang ada di jawa, dimana kita bisa nyantri kalong ke pesantren-pesantren. Namun ternyata keliling ke beberapa kota di Jawa Barat keadaan tersebut ternyata tidak ada. Walhasil harus dilakukan perubahan paradigma jika kita ingin menyekolahkan anak di satu sisi dan di sisi lain harus mempersiapkan anak dalam rangka bisa memfilter kondisi yang kian tidak menentu. Akhirnya dalam rangka mendapatkan sekolah yang mendekati idealisme tsb, saya pun road show ke beberapa sekolah dan melakukan dialog dengan kepala sekolah yang ada. Keluarlah akhirnya 2 kategori sekolah seperti tersebut di atas

Full Day School memang menawarkan solusi bagi orang tua yang sibuk. Apalagi bagi yang suami istri sama-sama bekerja. Namun disisi lain kadangkala ada terbersit pertanyaan apakah kita tidak memberikan beban yang berlebihan kepada anak ? Di usia mereka yang seharusnya masih perlu banyak bermain dengan teman-teman sebayanya, ternyata mereka harus sekolah dari pagi sampai sore. Saya jadi terbayang dengan pengalaman waktu kecil di mana dari jam 07:00-13:00 sekolah dan kemudian dilanjut dengan madrasah dari jam 14:30 - 17:00. Rutinitas selama 6 tahun tsb ternyata menimbulkan semacam kehilangan masa bermain. Betapa tidak, di saat teman-teman yang lain bisa bebas bermain, saya harus tetap sekolah. Hal yang sama juga terjadi kepada adik ipar, dimana mertua 'memaksa' adik ipar saya masuk pesantren. Dampak yang terjadi ternyata adik ipar saya merasa dibuang oleh orang tuanya, sehingga terjadilah pemberontakan-pemberontaka
n thd orang tuanya. Sebagai orang tua, saya tidak ingin kondisi yang sama akan terulang kepada anak saya.

Namun, saat mengamati model sekolah biasa yang ada di Jawa Barat, ternyata pendidikan agamanya hanya 2 jam seminggu. Kalau demikian, bagaimana bisa memberikan bekal moral yang memadai kepada anak ? Pernah juga terbersit untuk menyekolahkan anak di sekolah umum biasa, kemudian sore harinya mendatangkan guru ngaji ke rumah. Pertanyaannya apakah hal tsb tidak mengulang kesalahan yang sama ? Disisi lain, mendatangkan guru ngaji ke rumah membutuhkan disiplin diri secara terus menerus. Mampukah saya dan istri menjalankannya ??

Akhirnya setelah berfikir cukup lama dan mempertimbangkan masak-masak dari berbagai segi, saya pun memasukkan anak saya ke salah satu full day school yang berupa SDIT. Empat tahun sudah berlalu. Pertanyaannya tetap sama, apakah dengan memasukkan anak ke SDIT sudah mampu menjawab kegundahan saya ?

Ternyata tidak. Saya lupa, ternyata banyak orang tua (khususnya yang sibuk) yang berfikir pragmatis. Karena tingkat kesibukannya mereka berharap anak akan dididik dengan benar oleh sekolah. Jadi mereka sangat menggantungkan ke sekolah terhadap pendidikan moral anak mereka. Oleh karena itu dirumah anak cukup dengan pembantu.

Terus terang mulanya saya sangat bingung, kok anak saya banyak mendapatkan kosa kata-kosa kata yang kasar yang tidak pernah terdengar di rumah. Akhirnya saya coba menelusur ke sekolah dengan rajin datang ke kegiatan-kegiatan yang diadakan di sekolah. Dari sana saya baru mengerti, ternyata kosa kata 'aneh' yang sering terlontar dari anak saya di dapatkannya dari sekolah. Jadi, sekolah disamping mengajarkan pendidikan moral yang baik ternyata juga 'mengajarkan' pendidikan moral yang kurang baik melalui teman-teman pergaulannya di sekolah. Bagaimana tidak, rata-rata orang tua yang sibuk mempercayakan 'pendidikan moral' di rumahnya kepada pembantu dan berharap kepada sekolah agar bisa dididik dengan baik. Walhasil kita susah-susah mengkondisikan anak di rumah dengan hal-hal yang baik, dan berharap bisa ada tambahan hal yang baik dari sekolah yang sudah susah-susah kita pilih, ternyata juga mendapatkan limbah pendidikan moral yang kurang baik dari didikan pembantu dari anak-anak lain yang notebene jadi temanya.

Walhasil, masihkah full day school bisa jadi harapan buat mempersiapkan anak-anak kita dengan pendidikan moral yang baik ? Sudah masa bermain anak di pangkas habis, ternyata masih ada limbah pendidikan moral yang kurang baik yang ternyata diserap juga oleh anak-anak kita. Adakah solusi lain ?