Ketika Nasib masih belum berfihak pada mereka, kemana mereka harus bergantung ?

Sudah hampir setahun ini saya menjalankan usaha di sektor riil. Tanpa disadari, saya banyak berinteraksi dengan orang-orang dari kalangan bawah dalam pengertian yang sesungguhnya. Bawah dari sisi pendidikan, bawah dari sisi ekonomi dan bawah juga dari sisi-sisi yang lain. Banyak hal yang bisa saya pelajari dari mereka semua. Sebutlah pok Marni yang penjual gado-gado, bang Dani yang tukang bengkel, Pak Agus yang tukang burung dan masih banyak lagi yang lain.

Di satu sisi saya salut, dimana di sela himpitan ekonomi yang demikian melilit mereka masih tetap optimis menatap masa depan yang entah kenapa sampai saat ini masih belum berfihak kepada mereka. Disisi lain, saya juga masygul, karena untuk bisa bertahan hidup mereka akhirnya mengandalkan bank keliling yang notabene adalah lintah darat. Tidak tanggung-tanggung, mereka mengandalkan tidak hanya satu atau dua bank keliling, tapi bisa lima bank keliling sekaligus. Tak heran, wajah-wajah debt collector pun akhirnya terpaksa hafal juga, karena hampir tiap hari mendatangi mereka untuk mengumpulkan cicilan yang harus mereka bayarkan tiap harinya. Tidak ada sesuatu yang istimewa sebenarnya kalau kita tidak tahu berapa bunga yang dikenakan para bank keliling kepada mereka. Menurut hitungan saya, rata-rata bank keliling bisa mengenakan bunga 50-70 % per tahun. Bahkan terkadang lebih. Jumlah yang sangat fantastis sebenarnya, namun mereka membungkusnya dalam cicilan yang bisa dibayarkan harian sehingga tetap terkesan sifat 'kedermawanan' mereka

Mulanya saya tidak habis fikir, kenapa mereka mau berhutang kepada bank keliling dengan bunga yang mencekik leher. Namun seiring dengan jalannya waktu sayapun faham, bahwa mereka tidak hanya miskin dari sisi ekonomi tapi juga miskin dari sisi kredibilitas di mata lembaga keuangan. Jangankan untuk meminjam ke lembaga keuangan seperti perbankan, untuk meminjam kepada tetangga dan saudarapun mereka nggak kredible karena kekhawatiran tidak mampu bayar. Bank keliling melihat celah tersebut dan berperan bak dewa penolong bagi mereka dalam menangani masalah keuangan mereka. Dampaknya gali lobang tutup lobang pun senantiasa dijalankan mereka. Pinjam dari satu rentenir buat bayar pinjaman dari rentenir yang lain adalah kisah yang senantiasa dilakoni mereka. Entah sampai kapan mereka akan terbebas dari para rentenir tsb...Barangkali kalau sudah tidak ada lagi barang berharga yang bisa disita para rentenir, atau malah barangkali setelah kematian datang kepada mereka ?

Awalnya saya terfikir untuk melakukan 'sesuatu' buat mereka dengan memberikan pinjaman lunak tanpa bunga kepada beberapa orang diantara mereka. Harapannya mereka bisa terbebas dulu dari hutang rentenir dan mulai hidup baru yang sama sekali bebas rentenir. Namun ternyata 'bius' rentenir sudah sedemikian dalam. Kemudahan pinjaman tanpa bunga ternyata sama sekali tidak mendidik. Bahkan terkesan seperti BLT (bantuan langsung tunai) dan tidak ada niatan untuk mulai mencicil. Mereka lebih enjoy jika tiap hari dikejar-kejar oleh debt collector. Hidup jadi terasa 'menarik' karena penuh kejutan dan ketidakpastian akibat dikejar-kejar debt collector. Mungkin bukan maksud mereka untuk berlaku demikian, namun dari pengamatan selama ini ternyata tidak gampang untuk beralih dari satu keadaan ke keadaan lain meskipun keadaaan yang baru itu jauh lebih baik. Status quo meskipun dalam kondisi memprihatinkan tetap lebih menarik dibandingkan dengan keadaan yang baru namun tidak jelas ujungnya.

Akhirnya saya faham bahwa kondisi tsb ternyata sudah sistemik. Tak mungkin saya bisa sendiri mengurai benang kusut tsb. Butuh kerja jama'i jika ingin merubah keadaan. Masalahnya lembaga mana yang mau dan tertarik untuk menggarap potensi tsb ? Parpol jelas nggak mungkin. Program kerja mereka bisa dikatakan tidak pernah berfihak kepada wong cilik. Hanya saat kampanye sajalah 'wong cilik' tadi dirangkul. Setelahnya... anda semua sudah tahu jawabannya. Anggota legislatif ? Rasanya idem dito dengan parpol. LSM ? Organisasi lainnya ? Saya belum tahu. Karena hingga saat inipun saya belum melihat ada lembaga atau organisasi apapun yang mau menggarap hal tsb secara serius (mudah-mudahan saya salah). Kalau sudah demikian kemana mereka harus bergantung ?? Kepada siapa mereka harus bergantung ??