Halal Bihalal

Sekilas istilah halal bihalal tersebut berasal dari bahasa Arab, namun dalam masyarakat Timur Tengah, istilah halal bihalal tersebut tidak pernah dikenal. Istilah ini merupakan suatu kreativitas umat Islam Indonesia yang telah masuk ke dalam khazanah bahasa dan digunakan secara baku oleh umat Islam Indonesia.
Halal bihalal dalam term ini memiliki makna sebagai kebebasan: bebas makan dan minum berkenaan dengan Hari Raya Idul Fitri. Jika istilah halal bihalal ini dikaitkan dengan silaturahmi, maka memiliki makna perbuatan saling membebaskan dari segala dosa di antara kita. Dengan demikian, istilah halal bihalal dalam maksud ini adalah istilah yang dibahas dengan pendekatan 'hikmah menuju ikhwah dan ukhuwah melalui silaturahmi'.
Halal bihalal adalah tradisi domestik Muslim Indonesia dalam bentuk sebuah kegiatan silaturahmi yang intinya saling memaafkan kesalahan antarsesama Muslim. Ini biasa dilakukan setelah melaksanakan puasa Ramadhan. Acuan pelaksanaan halal bi halal adalah hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, "Dua orang Muslim yang bertemu lalu keduanya saling berjabat tangan, niscaya dosa keduanya diampuni oleh Allah sebelum mereka berpisah."
Paling tidak istilah halal bihalal dapat memberikan tiga arti yang berbeda. Pertama, halal bihalal menurut tinjauan hukum, yakni menjadikan sikap kita yang tadinya haram atau yang tadinya berdosa, menjadi halal atau tidak berdosa lagi. Dan ini tentu baru tercapai apabila persyaratan lain yang ditetapkan oleh hukum terpenuhi oleh pelaku halal bihalal. Kedua, Dari segi linguistik (kebahasaan) kata halal dari segi bahasa terambil dari akar kata halla atau halala yang mempunyai berbagai bentuk dan makna sesuai dengan rangkaian kalimatnya. Makna-makna tersebut antara lain menyelesaikan problem atau kesulitan atau meluruskan benang kusut atau mencairkan yang beku atau melepaskan ikatan yang membelenggu. Dengan demikian, kalau kita pahami kata halal bihalal dari tinjauan kebahasaan ini, seakan-akan kita menginginkan
adanya sesuatu yang mengubah hubungan kita dari yang tadinya keruh menjadi jernih, dari yang beku menjadi cair, dan dari yang terikat menjadi terlepas atau bebas. Ketiga, yakni dari tinjauan qurani serta kesan-kesan penggunaan kata halal dalam Alquran. Di mana kata halal tersebut terdapat dalam lima surat dalam enam ayat, dua di antaranya dirangkaikan dengan kata haram, dan dikemukakan dalam konteks kecaman (negatif) dalam surat An Nahl 116 dan Yunus 59. Sedangkan keempat sisanya selalu dirangkaikan dengan kata kulu (makanlah) dan kata thayibah (yang baik).

Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta ini halal dan ini haram, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung. (QS. 16:116)

Katakanlah: Terangkanlah kepadaku tentang rezki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal. Katakanlah: Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah? (QS. 10:59)

Silaturahmi
Dari penjelasan tentang halal bihalal tersebut dapat diambil suatu inti dari beberapa entri point, yakni menuntut upaya maaf memaafkan di antara kita. Dan hal itu tidak akan terwujud bilamana tidak ada silaturahim, dalam istilah kita lebih umum menyebutnya silaturahmi, yang sangat berkaitan erat dengan halal bihalal. Keduanya memiliki esensi yang sama dan tidak bisa dipisahkan satu sama lain.
Halal bihalal lebih menekankan aspek silaturahmi yang merupakan perbuatan yang sangat dianjurkan dalam ajaran Islam, sehingga Rasulullah SAW dalam hadisnya bersabda yang artinya, "Barangsiapa yang menginginkan dipanjangkan usia dan dilimpahkan rizkinya, maka hendaknya ia menyambungkan tali silaturahmi." (HR Mutatfaq'Alaih).
"Bukanlah silaturahmi orang yang membalas kunjungan atau pemberian, tetapi yang bersilaturahmi adalah yang menyambung apa yang diputus." (HR Bukhari).

Setidaknya ada tiga cara silaturahmi yang dapat dilakukan oleh umat Islam. Pertama, silaturahmi dalam tenggang waktu antara shalat ke shalat atau silaturahmi ba'da shalat fardhu berjamaah. Setelah selesai memimpin shalat, imam melajutkan dengan kuliah tujuh menit (kultum) sebagai suatu tradisi dan kebiasaan positif yang sangat baik, karena dengan silaturahmi kita dapat saling tukar menukar informasi. Selain itu, kegiatan tersebut merupakan penerapan prinsip silih asah, silih asuh dan silih asih. Kegiatan silaturahmi sebagaimana digambarkan di atas, sebetulnya telah dipelopori oleh Baginda Nabi di mana beliau melakukan dialog ba'da shalat fardhu dengan para sahabatnya untuk memusyawarahkan segala persoalan yang dihadapi umat Islam. Bentuk silaturahmi ini disebut silaturahmi harian. Kesemuanya ini merupakan realisasi dari hadits Rasulullah SAW yang artinya, "Shalat berjamaah lebih utama pahalanya dari pada shalat sendirian dengan 27 derajat." (HR Syaikhani).
Kedua, silaturahmi mingguan yang dilaksanakan melalui kegiatan shalat Jumat. Kegiatan ini merupakan kegiatan pemberdayaan masjid ke arah yang lebih baik, di mana masjid bukan hanya berfungsi sebagai rumah ibadah ritual, melainkan juga sebagai pusat informasi dan kegiatan mu'amalah umat Islam. Khatib sebagai motivator dan fasilitator kegiatan silaturahmi, hendaknya mampu menyuguhkan kajian-kajian yang urgen dan berkaitan erat dengan kehidupan masyarakat. Ketiga, silaturahmi tahunan seperti kegiatan mushafahah yang dilaksanakan setelah pelaksanaan shalat Idul Fitri atau Idul Adha. Pada kesempatan ini, kegiatan silaturahmi dapat dilaksanakan secara lebih luas, karena seluruh jamaah dari tiap musala berkumpul dalam satu lapangan. Sedangkan pelaksanaan dalam ibadah haji di bulan Dzulhijjah, kita saksikan lautan manusia bersilaturahmi di Padang Arafah dan dianjurkan memotong hewan kurban untuk kalangan fuqara wal masakin yang lidahnya jarang merasakan lezatnya daging. Demikian juga peranan zakat, baik zakat fitrah maupun zakat mal dalam momentum Idul Fitri, di samping untuk tazkiyah diri dan jiwa pengamal ibadah puasa, juga merupakan hubungan timbal-balik (interaksi) antara yang kaya dan yang miskin sehingga tidak ada kesenjangan. Wujud silaturahmi di Arafah merupakan pertemuan dunia internasional melalui ajaran haji. Kelompok manusia hitam dan putih antara tinggi dan pendek bertemu dan tak ada perbedaan antara yang kaya dengan yang miskin, antara pejabat dan rakyat. Semuanya sama di sisi Allah SWT. Tak ada bahasa yang diikrarkan pada waktu itu kecuali ucapan talbiyah.

Khatimah
Alquran menuntut agar setiap aktivitas yang dilakukan oleh setiap Muslim harus merupakan yang baik dan menyenangkan semua pihak, karena halal yang dituju adalah halal yang thayib. Bahkan Alquran tidak hanya menuntut dari seorang Muslim untuk memaafkan orang lain, tetapi lebih dari itu, yakni berbuat baik terhadap orang yang pernah melakukan kesalahan terhadapnya.
Mengutip pendapat Quraish Shihab, dalam Alquran dari delapan belas kali Allah SWT menyebutkan cinta-Nya terhadap orang-orang yang memiliki sifat terpuji, dengan menggunakan kaya yuhib, di lima tempat, di antaranya ditunjukkan kepada Al Muhsinin. Yang dimaksud Al Muhsinin adalah orang-orang yang memperlakukan orang lain lebih baik dari pada perlakuan orang lain itu atasnya, atau berbuat baik kepada yang bersalah, dan berbuat lebih baik atas orang yang telah berbuat baik.
Dari sini pula diperoleh kesan bahwa halal bihalal bukan saja menuntut seseorang agar memaafkan orang lain, tetapi juga agar berbuat baik terhadap siapapun. Inilah landasan filosofis dari semua aktivitas manusia yang dituntut oleh Alquran, dan itu juga yang harus menjadi landasan filosofis bagi setiap yang melaksanakan halal bihalal. Hal tersebut sekaligus juga berarti bahwa hakikat yang dituju oleh acara halal bihalal yang berintikan silaturahmi tidak harus dibatasi
waktunya seusai lebaran Idul Fitri.
Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat dipahami bahwa halal bihalal bukan hanya sebuah kegiatan ritual an sich, melainkan dapat dikembangkan dalam bentuk kegiatan silaturahmi dalam rangka pemberdayaan umat Islam untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik. Dengan mengaktualisasi makna dan nilai silaturahmi, kita berharap tercipta masyarakat marhamah demi terwujudnya kedamaian, keadilan, dan kesejahteraan bangsa.
Akhirnya perkenankan kami mengucapkan
تـَقـَبَلَ اللهُ مِنـَّا وَمِنـْكـُمْ مِنَ الـْعَائِدِيْنَ الـْفـَائِزِيْنَ
“Semoga Allah SWT berkenan menerima ibadah kami, dan ibadah anda semuanya”, dan jadikan kami orang yang kembali meraih kemenangan”. Dan semoga kita bukan termasuk bagian dari orang yang disitir dalam sabda nabi sbb:
كـَمْ مِنْ صَائِمٍ لـَيْسَ لـَهُ مِنْ صِيَامِهِ إلا الـْجُوْعِ وَالـْعَطـَسِ
“Berapa banyak orang yang berpuasa tapi tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali lapar dan dahaga”. (HR. Imam Ahmad)